Saturday, June 30, 2018

3 Makanan Aceh Yang Mulai Dilupakan

                Aceh memiliki kekayaan akan kuliner yang tidak kalah dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia, bahkan di dunia. Namun, diantara ribuan makanan Aceh, ada beberapa makanan yang mulai dilupakan bahkan tidak tampak lagi di Aceh. Berikut akan diulas beberapa makanan Aceh yang mulai hilang ditinggalkan masyarakat Aceh.

1. Limpeng Sagee
Limpeng sage adalah salah satu makanan khas aceh yang sangat tradisional. Pembuatannya sangat mudah, cukup dengan menghaluskan pisang dan sagu, kemudian diberi gula dan garam sesuai selera. Memasaknyapun tidak terlalu sulit, dulu para wanita Aceh memasaknya dengan cara menggepengkan adonannya di daun pisang dan kemudian dibakar di bara api. Namun, dizaman serba instan sekarang ini makanan tersebut sudah jarang sekali ditemui, terlebih di kota Banda Aceh. Mungkin hanya wilayah Aceh yang terpencil saja, makanan ini baru bisa ditemui. Selain itu, pengaruh perkembangan zaman juga mengambil andil dalam punahnya makanan ini. Bagaimana tidak, karakter dan pemikiran masyarakat Aceh sendiri semakin lama semakin tinggi sehingga malu dan gengsi untuk memakan apalagi membuat makanan ini.

2. Beureunee
Beureune ialah makanan tradisional Aceh lainnya yang dibuat dari sagu, Pembuatannya dengan cara menggongseng sagu kemudian memasaknya dengan santan. Jika dianalogikan, Beureune hampir sama dengan bubur kacang hijau, namun isinya sagu bukan kacang hijau. Meskipun jarang, sampai saat ini makanan ini masih bisa ditemui meskipun tidak sepopuler dulu.  Makanan ini mulai populer pada tahun 60-an dimasyarakat Aceh.

3. Emping Breuh

Emping breuh ialah makanan tradisional Aceh yang dibuat dengan cara merebus beras, kemudian ditumbuk hingga gepeng. Dahulu, masyarakat Aceh membuat makanan ini untuk dibawa pengantin pria sebagai sesembahan untuk keluarga pengantin wanita dibarengi dengan manisan gula, pisang, dan beberapa jenis kue kering lainnya. Selain dimakan langsung, emping breuh juga bisa dimakan dengan kelapa dan ditemani secangkir kopi hitam.

Menyambut Puasa Ala Mahasiswa

                Bulan Ramadhan tiba tinggal menghitung hari lagi, bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat dinanti-nanti oleh seluruh kaum Muslimin di dunia. Hal ini karena bulan ini adalah bulan dimana seluruh amalan perbuatan manusia dilipat gandakan berkali-kali lipat. Selain itu,  bulan Ramadhan juga merupakan bulan penghapusan dosa bagi orang-orang yang mengerjakan ibadah shalat Tarawih, yaitu shalat yang hanya ada pada bulan Ramadhan.
                Berbicara tentang Ramadhan, selain ibadahnya ada hal lain juga yang sangat disukai oleh seluruh umat muslim yang mengerjakan puasa. Tidak lain dan tidak bukan waktu berbuka puasa adalah hal lain itu. Waktu berbuka ialah waktu yang dinanti-nanti setiap muslim pada bulan Ramadhan, setelah menjalani puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Seolah watu ingin dipercepat saja membayangkannya.
                Mengingat Ramadhan hanya ada sebulan dalam setahun, berkumpul dengan keluarga tentunya sangat afdhal jika dilakukan dalam bulan itu. Namun, tidak semua orang mampu melakukannya, kesibukan dalam memenuhi kebutuhan pribadi maupun keluarga adalah salah satu penyebabnya. Mahasiswa juga salah satu pihak yang mungkin akan merasakan berpuasa tanpa keluarga. Bagaimana tidak, bulan Ramadhan tidak memiliki arti libur pada kegiatan akademisi maupun lainnya. Sehingga sebahagian besar mahasiswa harus menjalani puasa di daerah tempat ia kuliah yang jauh dari orang tuanya.
                Namun, tidak berkumpul dengan keluarga bukan berarti menurunkan semangat mahasiswa dalam menyambut puasa.   Insan Fadhilah misalnya, ia adalah mahasiswa  di Universitas Islam Negri Ar-Raniry Banda Aceh. Sehari menjelang bulan Ramadhan ia beserta teman-teman sekosannya berencana untuk memasak daging bersama. Uang untuk membeli daging dikumpulkan dari masing-masing penghuni kost. Mereka membagi tugas masing-masing, ada yang bertugas untuk belanja daging dan bumbu-bumbu, memasak, dan lainnya. Setelah masak, gulai tersebut dibagikan dan kemudian mereka memakannya bersama.
                Tidak jauh berbeda dengan Insan, Riswana Pratiwi yang merupakan mahasiswi di Universitas Syiah Kuala juga melakukan kegiatan yang sama di hari meugang. Meskipun berbeda universitas, cara yang mereka lakukan di hari megang relatif sama, yaitu berkumpul dengan teman-teman kost, mengumpulkan uang sama-sama yang kemudian dibelikan daging untuk dimasak bersama dan memakannya bersama pula. Namun berbeda dengan Insan, Riswana dan teman-temannya merencanakan untuk piknik di pantai setelah gulai daging yang mereka masak, matang.
                Kesamaan kegiatan yang mereka lakukan di hari meugang meskipun berbeda universitas adalah hal yang wajar, karena berkumpul dan memasak gulai bersama dengan teman-teman di hari meugang mungkin bisa mengobati rasa rindu kepada orang tua. Yang terpenting bukan apa yang mereka masak, dan bukan juga hasil masakannya. Tetapi interaksi, canda tawa yang terjadi ketika memasak gulai itu yang tak bisa didapatkan dimanapun, bahkan dengan keluarga sekalipun. Itulah kegiatan di hari meugang ala mahasiswa yang bisa penulis rangkum. Bagaimana dengan kamu sobat, apa kegiatanmu dalam menyambut Ramadhan?

Tiga Tempat Yang Wajib Dikunjungi Jika Berlibur Ke Aceh

Aceh adalah salah satu kota di pulau Sumatra. Kota ini juga di juluki sebagai Serambi Mekah karena pesatnya perkembangan Islam dan juga dikenal sebagai tempat awal mulanya Islam masuk di Indonesia. Selain itu Aceh juga dikenal karena peristiwa bencana Tsunaminya pada tahun 2004 yang sangat dahsyat. Karena sejarah dan peristiwa tersebut, banyak sekali tempat-tempat di Aceh yang dapat dikunjungi sebagai wisata untuk refreshing sekaligus menambah wawasan kita. Berikut akan diulas 3 tempat yang wajib kamu kunjungi apabila berlibur ke Aceh.

1. Museum Tsunami
            Sesuai namanya, museum ini berisi koleksi-koleksi berupa barang-barang, foto, video dan lainnya yang menjadi bukti betapa dahsyatnya gelombang Tsunami menerjang Aceh. Selain itu bangunan ini dirancang untuk memperlihatkan kepada pengunjung betapa mnegerikannya hawa atau suasana ketika terjadi bencana tersebuat, sepert ketika pengunjung masuk melalui lorong masuk yang sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi — untuk menciptakan kembali suasana dan kepanikan saat tsunami, dan banyak lainnya. Museum ini berada di Jalan Sultan Iskandar Muda No.3, Sukaramai, Baiturrahman, Sukaramai, Baiturrahman, Kota Banda Aceh.

2. Masjid Raya Baiturrahman
            Mesjid raya ini pertama kali dibangun oleh pemerintahan Sultan Iskandar Muda, namun telah terbakar habis pada agresi tentara Belanda kedua pada bulan shafar 1290 April 1873 M. Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali pada tahun 1299 Hijriyah bersamaan dengan kubahnya hanya sebuah saja. Pada tahun 1935 M, Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Hingga saat ini, Masjid Raya Baiturrahman sudah diperindah dengan berdirinya 12 unit payung elektrik, lantai marmer, tempat wudhu, lokasi parkir bawah tanah, hiasan lampu, serta kehadiran tiga puluh lebih pohon kurma, yang diharapkan tak sebatas sebagai tempat ibadah, tapi juga pusat kajian Islam di Aceh dan Indonesia.

3. Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Apung (PLTD) Apung
            Kapal PLTD Apung ini merupakan saksi bisu kedahsyatan Tsunami yang terjadi di Aceh. Di antara banyak kisah tentang kedahsyatan tsunami di Aceh, tergambar dari terhempasnya sebuah kapal raksasa, PLTD Apung dari laut Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh ke tengah permukiman penduduk. Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung memiliki panjang 63 meter mampu menghasilkan daya sebesar 10,5 Megawatt. Kapal ini memiliki 1.900 meter persegi dan bobot 2.600 ton. Dengan bobot yang besar tersebut, sulit membayangkan kapal ini dapat terhempas hingga ke tengah pemukiman penduduk. Namun faktanya gelombang tsunami mampu menggerakkannya. Bagi kalian yang ingin mengunjungi tempat ini silahkan pergi ke Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh.